Selasa, 26 Agustus 2008

ANALISIS PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT SUKU BAJO DI KABUPATEN KOLAKASULAWESI TENGGARA TAHUN 2008

ANALISIS PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT SUKU BAJO DI KABUPATEN KOLAKASULAWESI TENGGARA TAHUN 2008



An Analysis of Health Service Utility by Ethnic Bajo Community
in Kolaka, Southeast Sulawesi in 2008



Barlin Adam
Program Studi Kesehatan Masyarakat, Kosentrasi Administrasi Kebijakan Kesehatan



ABSTRAK



Masalah pemanfaatan pelayanan kesehatan tidak lepas dari aspek sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Maka, penentuan kebijakan kesehatan harus melihat sejumlah aspek tersebut. Untuk mengetahui hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan terkait dengan faktor konsumer (umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan), akses geografis, akses ekonomi, perilaku petugas, kelengkapan fasilitas, sosial budaya (kepercayaan), sosial budaya (persepsi), sosial budaya (sikap), dan faktor psikologi. Jenis penelitian ini menggunakan metode observasional dengan rancangan cross secsional studi dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat suku bajo. Sampel adalah seluruh kepala keluarga (KK) Suku Bajo yang terpilih sesuai dengan ketentuan sampel dan bersedia untuk menjadi subyek penelitian dan berdomisili di Desa Hakatutobu kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara. Sampel yang diperoleh sebanyak 379 kepala Keluarga (KK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor konsumer, akses ekonomi, perilaku petugas, sosial budaya (kepercayaan), sosial budaya (persepsi), sosial budaya (sikap), dan faktor psikologi, tidak memiliki hubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Sedangkan faktor akses geografis, dan kelengkapan fasilitas memiliki hubungan terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan. Disarankan kepadapemerintah daerah mengadakan trasportasi reguler, klinik terapung, dan tenaga kesehatan memberikan motivasi dengan memamfaatan pelayanan kesehatan dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan

Kata kunci : Pemanfaatan pelayanan kesehatan, suku bajo

ABSTRAK

The aim of the study was to discover the utility of health service related to age, gender, education, income, geographical access, economy, health workers’ behavior, facility, socio-culture (belief, perception, attitudes) and psychological factors. The study was observational using a cross sectional design with qualitative and quantitative approach. The population of the study was all ethnic Bajo community. The number of samples was 379 people residing at Hakatutobu village, Pomalaa district. The results of the study indicate that the consumer’s factors, namely economic access, health worker’s behavior, belief, attitude, perception, and psychological factor have no correlation with the utility of health service. It is recommended to health worker’s to motivate and use the health service by improving the quality of health service.

Key words : utility, health service, ethnic Bajo


PENDAHULUAN
Masalah kesehatan tidak lepas dari aspek sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Maka, penentuan kebijakan kesehatan harus melihat sejumlah aspek. Dalam aspek ekonomi, dengan keterbatasan dan ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan, menyebabkan pihak provider menjadi kuat dan posisi pasien menjadi lemah. Hal seperti ini sangat berbahaya bagi kondisi kesehatan masyarakat dan terutama masyarakat pesisir yang jauh dari akses pelayanan kesehatan seperti suku bajo.
Tenaga kesehatan sebagai pendukung upaya kesehatan dalam menjalankan tugasnya harus selalu dibina dan diawasi. Pembinaan dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuannya, sehingga selalu tanggap terhadap permasalahan kesehatan yang menjadi tanggungjawabnya. Pengawasan dilakukan terhadap kegiatannya agar tenaga kesehatan tersebut dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan kebijaksanaan peraturan perundang-undangan yaitu UU Kesehatan No.23 tahun 1992 pasal 51, maka untuk mendukung hal tersebut, ditetapkan PP No. 32 tentang tenaga kesehatan. Setiap penyimpangan pelaksanaan tugas oleh tenaga kesehatan mengakibatkan konsekuensi dalam bentuk sanksi (Notoadjmoj,2007).
Untuk melaksanakan hal tersebut, maka Departemen Kesehatan telah mencanangkan visi baru, misi serta kebijakan dan strategi pembangunan kesehatan melalui Indonesia Sehat 2010. Salah satu strateginya di bidang pengembangan sumber daya manusia kesehatan adalah pemantapan profesionalisme tenaga kesehatan.
Hasil penelitian menemukan bahwa adanya pengaruh struktur keluarga terhadap penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan: jumlah keluarga yang sangat besar juga mempunyai pengaruh negatif terhadap penggunaan fasilitas publik yang mencari keuntungan (profit). Seluruh komponen yang berpengaruh terhadap model kualitas permintaan adalah hasil dari harga variabel nilai bias yang siginifikan dan mengalami penurunan hingga 25%. Hal lain yang menarik, eliminasi dari komponen proses kualitas yang memberikan dampak positif adalah jumlah staf dalam demand pelayanan kesehatan menunjukkan bahwa jumlah staf itu penting tetapi tidak cukup untuk menurunkan penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan modern. Harga memberikan efek kecil terhadap penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan: pengakuan dari beberapa user hanya mengurangi 0,8 % untuk penggunaan klinik umum dan 1,8 % untuk rumah sakit umum; sementara harga obat hanya menurunkan 9,7 % untuk klinik dan 17,7 % untuk rumah sakit.
Menurut profil Puskesmas Pomalaa, pada tahun 2004 jumlah masyarakat yang memanfaatkan pelayanan kesehatan adalah 1824 orang atau sekitar 27,2%, kemudian pada tahun 2005 sebanyak 1786 atau sekitar 26% dan pada tahun 2006 sebanyak 1472 orang atau sekitar 24,3%.
Dalam penelitian ini akan menganalisis beberapa faktor yang terkait dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat pesisir suku bajo Kecamatan Pomalaan Wilayah Kerja Puskesmas Pomalaa Kabupaten Kolaka yaitu dilihat dari faktor konsumer, umur, pendidikan, pendapatan, akses geofrafis, akses ekonomi, sikap, kelengkapan fasilitas, jenis pelayanan medik, perilaku petugas kesehatan, persepsi dan faktor pisikologi masyarakat pesisir suku Bajo terhadap provider.


METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross secsional yang bertujuan untuk menjelaskan atau mengananlisis kecendrungan hubungan antara variabel penelitian, sedangkan untuk mengeskplorasi variabel sosial budaya kepercayaan dan psikologi digunakan pendekattan kualitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara dan eksplorasi secara mendalam terhadap pengunjung yang menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang berada di Desa Hakatutobu kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara.
Populasi penelitian ini adalah seluruh suku bajo yang berada di Desa Hakatutobu Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara. Sampel pada penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga (KK) Suku Bajo yang diplih secara sederhana simple random sampling dengan jumah. Besar sampel adalah 379 Kepala Keluarga.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder :
- Kuantitatif
Data primer diperoleh berdasarkan wawancara langsung dengan responden yang terpilih dengan menggunakan kuisioner serta dilakukan pengamatan langsung atau observasi kondisi masyarakat Suku Bajo setempat tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan.
- Kualitatif
Data kualitatif dikumpulkan dengan wawancara mendalam terhadap informan yang dipilih untuk memperoleh gambaran pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Analisis Pengolahan dan Penyajian Data
Data Kuantitatif
1) Analisa univariat
2) Analisis bivariat
3) Analisis multivariat
Data Kualitatif
Analisis data dilakukan secara induktif dimulai dari mengumpulkan dan menelaah data, dideskripsikan kemudian disimpulkan, sesuai dengan jenis informasi yang dibutuhkan mengenai pemanfaatan pelayanan kesehatan suku bajo di Desa Hakatutobu.


HASIL PENELITIAN


Faktor Konsumer
Karakteristik responden yang diteliti, didapatkan umur terbanyak pada kelompok umur 20-29 tahun sebanyak 127 orang (33,3%) dan kelompok umur terkecil adalah >50 tahun sebanyak 58 (15,3%). Secara teoritis, umur meupakan faktor yang mempengaruhi terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan (utilisasi). Semakin bertambah umur, semakin bertambah permintaannya terhadap pelayanan kesehatan (Feldstein, Gerdtham dalam Razak 2004). Dalam penelitian ini umur tidak berpengaruh dalam pemanfaatan pelayan kesehatan
Jenis kelamin menunjukkan bahwa sebagian besar sampel adalah laki-laki yakni sebanyak 319 responden (84,2 %) dan laki-laki sebanyak 80 responden (15,8 %).
Tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan lebih mudah petugas kesehatan menyampaian pesan-pesan dan meberikan motivasi khususnya dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Bedasarkan hasil analisis tingkat pendidikan menunjukkan bahwa tidak memilki hubungan terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan. Tingkat pendidikan masyarakat bajo yang terbesar yaitu tidak sekolah sebanyak 172 responden (45.4%) dan yang terkecil yaitu dengan tingkat pendidkan SLTA sebanyak 27 responden (7.1 %). Artinya pemanfaatan pelayanan kesehatan berdasarkan dari segi kondisi fisik saja. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Razak, 2004 bahwavariabel pendidikan tidak terbukti bermakna berhubungan dengan permintaan atau pemanfaatan pelayanan kesehatan. Hasil penelitian ini berbeda teori Feidstein yang mengemukakan bahwa pendidikan berpengaruh terhadap permintaan jasa kesehatan. Keluarga yang tingkat pendidikannya tinggi dapat lebih mengenal tanda-tanda sakit dan akibatnya lebih besar keinginannya untuk mencari pengobatan dan pencehatan terhada sakit.
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang memberikan kostribusi terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan. Dalam penelitian ini sebagian besar pendapatan masyarakat suku bojoe memiliki berpendapatan per bulan <>

Akses Geografis dan Akses Ekonomi
Dalam penelitian ini akses geografis di ukur berdasarkan waktu perjalanan dan biaya trasportasi. Penelitian ini sebagian besar masyarakat suku bajo menunjukkan bahwa waktu yang di butuhkan untuk ketempat pelayanan kesehatan yaitu yang terbesar > = 60 menit atau sebanyak 205 ponden (54.1%) dan yang terkecil yakni 73 responden yaitu sebanyak (19,3%). Sehingga pada umumnya masyarakat suku bajo berpendapat tidak mampu, karena lokasi tempat pelayanan kesehatan sangat jauh, kemudian trasportasi susah, jalan rusak dan apa lagi masyarakat bajo yang di pulau-pulau. Sedangkan biaya trasportasi mengeluarkan biaya Rp 20.000. Kemudian untuk pendapat mengenai biaya trasportasi terserbut, sebagian besar responden yaitu 92,9% yang mengatakan mahal. Berdasarkan dari segi akses geografis berpendapat mengenai waktu perjalanan dan biaya perjalanan sebagian besar responden mengatakan tidak mampu yaitu 74,1%.
Hasil analisis menunjukkan akses geografis tidak berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesahatan pada masyarakat suku bajo. Dalam hal ini disebabkan oleh sebagian besar waktu di habiskan dilaut menangkap ikan atau hasil laut. Hasil penelitian ini sejalan yang ditemukan Mills yang menyatakan jarak dan waktu tempuh ke tempat pelayanan kesehatan berpengaruh negative terhadap permintaan jasa pelayanan ksehatan.
Pada akses ekonomi dalam penelitian ini berkaitan berkaitan dengan kemampuan menjankau biaya/tarif pelayanan kesehatan yang berlaku. Khusus untuk pelayanan per satu kali kunjungan berlaku tarif 10000 berdasarkan penentuan tarif di puskesmas, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pelayanan kesehatan sebahagian besar masyarakat suku bajo mengeluarkan biaya 41.000-50.000 (43,0%) per satu kali kunjungan tempat pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil tersebut masyarakat suku bajo mengatakan tidak mampu lebih besar yaitu 79,9%.
Masyarakat sebenarnya sudah tahu manfaat dari pelayanan kesehatan, hanya saja karena faktor jarak dan faktor ekonomi sehingga penggunaan sarana pelayanan kesehatan tersebut jarang didayagunakan oleh masyarakat. Hal ini ada kaitannya dengan tingkat perkembangan kesehatan masyarakat saat ini. Bahwa, kehadiran sistem pelayanan kesehatan modern telah memberikan pemahaman yang lebih baik tentang penyakit, cara penularan cara pencegahan dan terutama tindakan pengobatan. Hal tersebut memungkinkan terwujudnya tindakan yang lebih efektif untuk melindungi dan memperbaiki kesehatan masyarakat. Salah satu tindakan nyata dan usaha dalam pelayanan kesehatan modern adalah mendekatkan pusat pelayanan, terutama pelayanan kesehatan primer kepada masyarakat sehingga aspek keterjangkauan dan kecepatan pelayanan dapat menjadi efektif.


Perilaku Petugas
Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar yang menyatakan perilaku petugas tidak baik sebanyak 210 responden. Hal Ini sebabkan karena petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan banyak prosedur yang harus dilalui, kondisi tempat pelayanan menjadi tidak nyaman karena disebabkan intensitas debu bergitu yang tinggi,
Namun demikian petugas dlam memberikan pelayanan petugas selalu memberikan nasihat kepada pasien, terutama mengenai penggunaan obat, anjuran pencegahan dan nasehat mengenai pantangan penyakit tersebut. Hasil analisis terhadap perilaku petugas kesehatan menunjukkan bahwa perilaku tidak berhubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat suku bajo. Hal ini mungkin karena pekerjaan masyarakat suku bajo adalah nelayan sehingga dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan kurang dan juga si sebabkan karena budaya masyarakat bajo lebih nyaman ketika melakukan pengobatan kepada dukun dari pada ketempat pelayanan medis.


Kelengkapan Fasilitas
Dalam setiap proses tindakan medis bahwa kelengkapan sangat berpengaruh dalam memberikan pelayanan kesehatan. Fasilitas juga yang menetukan beban kerja seorang petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas dan sarana kesehatan menjadi salah satu faktor yang dapat mendorong atau memotivasi masyarakat untuk melakukan upaya pengobatan. Walaupun masyarakat mempunyai niat dan keinginan untuk melakukan upaya pengobatan, akan tetapi jika fasilitas kesehatan tidak tersedia pada daerah tersebut maka masyarakat akan kembali memilih penyembuh lain, baik yang sifatnya perawatan tradisional (traditional remedy) ataupun memilih mengobati sendiri penyakitnya (self treatment) dan yang lebih parah lagi jika mereka tidak melakukan upaya pengobatan sama sekali dengan harapan penyakitnya dapat sembuh dengan sendirinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelengkapan fasilitas pelayanan kesehatan sebanyak 221 responden (58.3%) yang menyatakan baik terhadap fasilitas yang ada tempat pelayanan kesehatan sedangkan dan sebanyak 158 responden (41.7%) yang menyatakan kurang baik. Hasil analisis hubungan perilaku tugas kesehatan terhadap mesyarakat suku bajo dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan itu tidak berhubungan.


Sosial Budaya (Sikap)
Dalam penelitian ini sikap yang dimaksud adalah sikap masyrakat suku bajo terhadap pelayanan kesehatan yang menunjukkan sebagian besar masyarakat suku bajo mempunyai sikap yang posistif terhadap pelayanan kesehatan. Secara umum pelayanan kesehatan atau tindakan medis yang dilakukan di puskesmas/pustu tidak dianggap bertentangan dengan adat kebiasaan masyrakat suku bajo, dengan demikian tidak ada hambatan dari segi budaya dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Sedangkan mengenai waktu tunggu yang ada di tempat pelayanan kesehatan pada umumnya mengatakan tidak setuju, karena memang waktu tunggu masyrakat suku bajo tidak mengerti sama sekali dan di anggap tidak ada, hal ini dihubungkan dengan kebebasan atau tidak adanya batasn berkunjung ke tempat pelayanan kesehatan. Begutu halnya dengan peraturan yang ada di puskesmas memberikan beban dalam segi mengakses. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh sikap masyarakat suku bajo terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan. Hal ini di sebabkan karena sebagian besar waktunya di habiskan di laut untuk menagkap hasil laut dan sulut untuk menjangkau tempat pelayanan apa masyarakat yang tinggal di pulau.


Sosial Budaya (Persepsi)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar mempunyai persepsi baik terhadap pelayanan yang diberikan oleh petugas kesehatan. Persepsi mengenai keterampilan yang dimaksud yaitu menurut masyarakat suku bajo adalah petugas kesehatan langsung memberikan pelayanan, seperti ditensi, diberikan obat dan diberikan nasehat tentang penyakit yang dideritanya. Dengan demikian keterampilan dimaksud bukan dari segi keterampilan sebagai seorang petugas kesehatan, melainkan dari kecepatan mendapatkan pelayanan kesehatan dan meskipun yang berpendapat petugas kesehatan tersebut terampil dan pintar dalam memberikan asupan kesehatan. Mengenai kenyamanan masyarakat suku bajo berpendapat nyaman karena disebabkan bisa datang atau berkunjung kerumah petugas kesehatan diluar jam kerja. Disamping itu pekerjaan yang di jalan sebagai nelayan tidak terganggu.
Kemudian pesepsi tentang kelengkapan alat-alat medis, yaitu bukan dari kelengkapan alat-alat tetapi dari segi obat yang tersedia dan alat pengukur tekanan darah (tensi). Hal ini di sebabkan karena tingkat pendidikan masyarakat khususnya masyarakat suku bajo masih sangat rendah dan bahkah banyak yang tidak pernah menginjakkan ke bangku pendidikan, sehingga pengetahuan tentang peralatan medis nyaris tidak ada. Hasil analisis secarah terpisah mengenai persepsi diperolah memilki pengaruh secara positif terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan masyarakat suku bajo.


Sosial Budaya (Kepercayaan)
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang pengetahuannya dan kepercayaan terhadap jenis penyakit maka menurut informan, sakit diartikan sebagai suatu penyakit yang ditandai seperti sakit panas dibarengi dengan sakit kepala, keram dan menggigil.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa pengertian sakit menurut mesyarakat suku bajo adalah gejalah penyakit yang merupakan ukuran mereka dalam melihat kondisi sakit atau tidak. Sedangkan penyebabnya lebih pada faktor budaya dan teknologi yang di gunakan dalam menjalankan pekerjaannya sebagai seorang nelayan tradisonal dalam menyembuhkan penyakit di bandingkan ke pelayanan medis.
Dari segi daya tarik dan kepercayaan dukun telah banyak menyembuhkan masyarakat bajo dan masyarakat suku bajo beranggapan dukun mampu menyelesaikan masalah sehat sakit, sedangkan dari segi kemudahan (factor geografis dan ekonomi), masyarakat bajo mudah menjangkau tempat tersebut (dukun). Inilah yang dirasakan masyarakat suku bajo dalam melakukan pengobatan ketiika mengalami saki, sehingga dalam memilih pengobatan lebih cenderung kedukun, ditambah lagi dari segi pengetahuan masyarakat bajo yang sangat tentang pengobatan medis yang sangat kurang karena di sebabkan tingkat pendidikan yang sangat rendah.




Psikologi
Secara psikologi adalah penerimaan masyarakat suku bajo terhadap petugas dalam memberikan pelayanan dan sebagai inovator. Hasil wawancara informan menunjukkan bahwa masyarakat suku bajo dalam penerimaan terhadap petugas kesehatan itu sangat baik, akan tetapi ketika mengalami sakit lebih memilih kedukun terlebih dahulu sebelum ia ke tempat pelayanan kesehatan.
Hal ini disebabkan karena masyarakat suku bajo dipengaruhi oleh budaya atau kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang mereka yaitu sebelum ketempat pelayanan kesehatan terlebih dahulu dulu harus kedukun. Inipula disebabkan karena pengetahuan masyarakat bajo tentang pelayanan kesehatan masih sangat minim, ini dapat dilihat dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah.


Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam penelitian ini adalah tingkat pemanfaatan pelayanan pada masyarkat suku bajo di Desa Hakatutobu Kabupaten Kolaka. Hasil penelitian menunjukan dalam 3 (tiga) bulan terakhir sebagian besar keluarga masyarakat suku bajo ada yang mengalami sakit yaitu 379 responden terdapat 136 responden yang mengalami sakit. Responden tersebut sebagian besar ketika mengalami sakit lebih memilih ke dukun/alternatif di bandingkan ke puskesmas/pustu dan rumah sakit. Hal ini seperti penuturan informan kunci pada saat wawancara :
“..............sebenarnaya kalau perubahan perilaku, sebenarnya ada hambatan masyarakat bajo dari adat dan kebiasaan mereka itu, ……….kadang-kadang kita orang ke dua atau ke tiga tempat pengobatan, artinya di jadi sebagai alternatif. (AH, 31 th, wawancara 10-06-2008).
Alasan mengapa lebih memili dukun adalah seperti yang di katakan oleh informan kunci bahwa masyarakat bajo banyak di pengaruhi oleh budaya dan kebiasaan sehingga dalam memilih masalah pengobatan kenderung ke dukun. Akan tetapi tidak sedik pula masyarakat bajo yang memanfaatkan pelayanan kesehatan, ini dikarenakan petugas kesehatan sebagian besar ramah dalam memberikan pelayanan dan dapat lebih komunikatif dalam memberikan pelayanan. Disamping itu akses geografis yang kurang mampu di jangkau sehingga masyarakat bajo lebih memili ke tempat pelayanan pengobatan alternatif.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat suku bajo dalam mengambil tidakan (pengobatan) ketika terjadi sakit, pilihan perma adalah dengan berobat kedukun, akibatnaya puskesman/pustu dan RS, tidak lebih dari persinggaan terakhir ketika dukun dalam melakukan pengobatan tidak lagi bisa mengatasinya, akhirnya penyakit yang terobat oleh dukun telah mengalami kronis atau sudah parah, sehingga petugas kesehatan dalam melayani masyarakat bajo dibarengi dengan kemarahan.
Alasan lain mengapa masyarakat suku bajo lebih memilih dukun karena banyak yang dilakukan oleh dukun dalam memberikan pengobatan banyak yang mengalami kesembuhan Masyarakat suku bajo dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan karena disebabkan oleh sebagian besarnya waktu banyak dihabiskan dilaut menagkap ikan dan berbagaimacam hasil laut yang dapat menjadi nilai ekonomi.
Hasil analisis multivariat semua variabel yang diduga terkait dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan menunjukkan semua variabel tidak bermakna terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam artian penggunaan pelayanan kesehatan tidak hanya didominasi oleh hanya saktu faktor saja melainkan semua variabel secara bersamaan yang terkait dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan baik dari segi individu, akses geografis, akses ekonomi, perilaku petugas, kelengkapan fasilitas, sosial budaya pespsi, sikap dan faktor keprcayaan tentang konsep sehat sakit yang sangat kuat sehingga masyarakat suku bajo dalam usaha mencegah penyakit sebelum terjadi trauma yang pajang (kronis) dan usaha pencegahan dan penyembuhan yang dilakukan oleh petugas kesehatan terjadi kegagalan.


KESIMPULAN





  1. Faktor konsumer meliputi umur, jenis kelamin dan pendapatan tidak berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat suku bajo.



  2. Faktor Akses geografis berhubungan negative terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat suku bajo.



  3. Faktor Akses ekonomi berhubungan negative terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat suku bajo.



  4. Faktor Perilaku petugas kesehatan memiliki hubungan dan pengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan.



  5. Faktor fasilitas kesehatan memiliki hubungan dan pengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan.



  6. Faktor Kepercayaan tidak berhubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan karena di pengaruhi oleh budaya atau kebisaan masyarakat setempat.



  7. Faktor Persepsi tidak berhubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan karena di pengaruhi oleh budaya atau kebisaan masyarakat setempat



  8. Faktor Sikap tidak berhubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan karena di pengaruhi oleh budaya atau kebisaan masyarakat setempat.



  9. Faktor Pisikologi tidak berhubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat suku bajo.

DAFTAR PUSTAKA


Ahmad, Anwar, 2004, Pemanfaatan pelayanan kesehatan di balai latihan pelayanan kesehatan masyarakat Provinsi nanggroe aceh darussalam, Universitas Gadjah Mada, Yokyakarta.


Anwar Ahmad, 2004, Pelayanan Kesehatan Di Balai Latihan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Biro Pusat Statistik propinsi Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan dalam angka 2003, tahun 2004, Makassar

Depkes RI, 2004. Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 128/MENKES/SK/Ii2004 Tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dever, A.G.E, 1984, Epidemiology in Health Services Management, University of Monteral-USA.

Darmawansyah, 2004. Damapk Perubahan Paradigma Kesehatan Terhadap Permintaan Dan Pola Penawaran Jasa Pelayanan Kesehatan Di Sulawesi Selatan. Disertasi untuk diterbitrkan. Program Pascasarjan Universitas Hasanuddin Makassar.

Dinas Kesehatan Kabuten Kolaka, 2006. Profil Keseahatan Daerah Kabupaten Kolaka.

Hofstede, Geert, Harris, Michael, 1999, The Confucius Connection: From Cultrural Roots To Economic Growth” Organization Dynamics. PT Prenhallindo, Jakarta.

Kotler, 1997, Marketing Management : Analisys, planning, implementation and control. Ninth edtion

Lameshow, Standly, 1997, Besar sampel dalam penelitian kesehatan, Gadjah Mada, University Press, Yogyakarta.


Notoadmodjo, Soekidjo, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.


Notoadmodjo, Soekidjo, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta. Notoadmodjo, Soekidjo, 2005.


Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.


Notoatmodjo, Soekidjo, 2007, Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni, Rineka Cipta, Jakarta.


Muninjajaya,AA, Gde, 2004, Manajemen Kesehatan Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran.EGC, Jakarta.


Program Pascasarjana Unhas, 2006. Pedoman Penulisan tesis dan Disertasi, Makassar.


Razak ,Amran, 200\2, Permintaan pelayanan kesehatan masyarakat , FKM Unhas Makassar.


Riduwan, 2004, Metode dan Teknik Penulisan Tesis, Alfabeta, Bandung


Sugiono, 2003, Metode penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung


Tjiptoherjnto, Prijono, Soesetyo, Budhi, 1994, Ekonomi kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta.


Wijono, 1999, Djoko, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, Airlangga, University Press, Surabaya..